Masuk Neraka Gara Gara Harta
عَنْ خَوْلَةَ الأَنْصَارِيَّةِ – رضى الله عنها – قَالَتْ سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُونَ فِى مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ ، فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » .
Dari Khaulah al Anshariyyah, aku mendengar Nabi bersabda, “Sungguh ada sejumlah orang yang menyikapi harta pemberian Allah dengan sikap yang tidak benar sehingga untuk mereka neraka pada hari Kiamat nanti” [HR Bukhari no 2950].
Pada dasarnya harta adalah sumber kebaikan. Dengan harta orang kaya bisa menjadi pemborong pahala.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ جَاءَ الْفُقَرَاءُ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالُوا ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنَ الأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلاَ وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى ، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ ، وَلَهُمْ فَضْلٌ مِنْ أَمْوَالٍ يَحُجُّونَ بِهَا ، وَيَعْتَمِرُونَ ، وَيُجَاهِدُونَ ، وَيَتَصَدَّقُونَ
Dari Abu Hurairah, ada sejumlah orang miskin yang menghadap Nabi. Mereka lantas berkata, “Orang orang kaya telah memborong derajat tinggi di sisi Allah dan surga. Mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami, orang orang miskin, mengerjakan shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka memiliki kelebihan harta yang dengannya mereka bisa pergi haji, berumrah, mendanai jihad dan bersedekah” [HR Bukhari no 807 dan Muslim no 1375].
Namun harta bisa menjadi bencana dan sebab prahara manakala disikapi dengan sikap yang tidak benar.
Yang dimaksud dengan malullah [harta anugrah Allah] dalam hadits di atas mencakup harta pribadi yang menjadi hak milik masing masing orang dan harta milik kas negara yang distribusi dan pembelanjaannya menjadi tanggung jawab pemerintah. Setiap individu pemilik harta dan pemerintah yang mendapatkan amanah untuk mengelola harta rakyat berkewajiban untuk membelanjakan harta dalam hal hal yang manfaat dalam urusan dunia atau pun manfaat di akherat. Oleh karena itu, hadits di atas mengharuskan para penguasa [presiden, gubernur, bupati dst] untuk membelanjakan hartanya Allah [baca: harta rakyat] yang ada di tangan mereka dalam kegiatan keagamaan yang meninggikan agama Allah dan dalam berbagai kegiatan yang memberikan manfaat bagi rakyat yaitu berbagai proyek dan program yang memajukan bidang pertanian, industri dan pendidikan atau untuk membangun berbagai fasilitas umum yang bermanfaat bagi banyak orang [Taudhih al Ahkam 7/469 dan 470].
Pelanggaran terhadap kewajiban ini adalah sebuah dosa yang akan berbuah neraka. Diantara bentuk pelanggaran yang berujung neraka gara gara harta adalah sebagai berikut:
Pertama, tindakan penguasa yang menghambur hamburkan harta kas negara untuk pembelanjaan program dan proyek yang tidak jelas manfaatnya bagi rakyat dari sisi dunia atau pun akherat semisal jalan jalan pribadi dengan alasan kunjungan kerja dll.
Kedua, hadits di atas juga berlaku untuk rakyat yang mengambil harta negara padahal dia tidak berhak mendapatkannya karena harta tersebut peruntukannya hanya untuk orang yang memenuhi kriteria tertentu lantas ada sebagian orang yang melakukan trik tertentu untuk bisa mendapatkannya [Subulus Salam 7/165].
Ketiga, penguasa yang memfasilitasi diri pribadinya dengah harta negara dengan bermewah mewah melebihi kebutuhan senyatanya. Memang mereka dibolehkan menggunakan harta negara untuk memfasilitasi diri mereka namun itu hanya sebatas kebutuhan real tanpa boleh ada tambahan [Subulus Salam 7/165].
Keempat, hadits juga berlaku untuk individu yang menghalalkan segala cara untuk bisa memperoleh dan mengumpulkan harta kekayaan sehingga harta yang dia miliki bercampur baur antara yang berasal dari sumber yang halal dengan yang berasal dari sumber yang haram [Ta’liq Dr Musthofa Dib al Bugho untuk Shahih Bukhari 3/1135].
Kelima, tindakan pemilik harta pribadi yang membelanjakan hartanya dalam hal hal yang dilarang oleh syariat. Ini adalah perbuatan terlarang dan pemakan harta Allah dengan cara yang batil. Harta yang Allah titipkan kepada kita tidaklah boleh dibelanjakan kecuali untuk hal hal yang Allah sukai sehingga harta menjadi alat untuk meraih ridho Allah, menjadi sebab kokohnya agama Allah dan memberi manfaat untuk banyak orang dalam urusan dunia [Taudhih al Ahkam 7/470].